Publikbogornews.com– Di sebuah aula yang sederhana, kursi-kursi plastik tersusun rapi. Sabtu siang itu (30/9/2025), udara Leuwiliang yang lembap terasa menempel di dinding, namun semangat yang hadir di dalam ruangan justru lebih pekat dari hawa panas.
Anak-anak muda Karang Taruna duduk berderet, sebagian masih berbisik, sebagian lain sudah menyiapkan buku catatan.
Lalu, seorang lelaki berkemeja putih melangkah ke depan. Wajahnya tenang, matanya teduh, suaranya dalam tapi lembut.
Dialah Ade Irawan, atau yang lebih sering dipanggil dengan nama yang melekat bagai doa: Gus Hai.
Ia tidak langsung bicara tentang teori atau rumus kepemimpinan. Ia justru memulai dengan sebuah renungan yang seolah membuat seisi ruangan menunduk.

“Menjadi pemimpin bukan perkara naik ke atas panggung. Ia adalah jalan panjang, jalan sunyi, yang ditempa oleh proses. Pemimpin bisa ditunjuk, bisa dipilih. Tapi kepemimpinan? Itu hanya bisa lahir dari jiwa.”
Hening seketika jatuh di antara barisan kursi. Kata-kata itu seperti palu yang mengetuk pintu kesadaran. Ada yang buru-buru menulis, ada pula yang diam seperti sedang menimbang dirinya sendiri.
Menurut Gus Hai, kepemimpinan adalah seni yang bisa dimiliki siapa saja. Bukan hanya milik pejabat, bukan hanya milik manajer atau ketua organisasi.
Setiap orang, kata dia, bisa menjadi pemimpin, bahkan bagi dirinya sendiri. Tetapi untuk sampai ke sana, ada satu kunci yang tak bisa ditawar: kesabaran menapaki proses.
“Anak muda sekarang,” ucapnya sambil menatap lurus ke barisan peserta, “banyak yang ingin tiba-tiba berada di atas. Lupa bahwa tangga tidak pernah bisa dilompati. Padahal proses itulah yang memberi makna. Tanpa proses, yang ada hanya nama tanpa jiwa.”
Kata-kata itu bergulir pelan, namun terasa seperti air yang menetes di batu diam-diam mengukir.
Seolah Gus Hai sedang tidak hanya berbicara kepada peserta pelatihan, melainkan kepada sebuah generasi yang bergegas, generasi yang kadang ingin cepat memetik buah tanpa mau menanam pohon.
Di penghujung sesi, Gus Hai menutup dengan kalimat yang tak kalah dalam:
“Kepemimpinan sejati bukan soal siapa yang berdiri paling tinggi, melainkan siapa yang paling mampu merunduk, memahami tanah di mana ia berpijak, dan menumbuhkan harapan bagi yang lain.”
Aula itu kembali hening, namun kali ini hening yang penuh makna. Anak-anak muda Karang Taruna pun seperti baru saja diajak berziarah ke dalam dirinya sendiri menyadari bahwa kepemimpinan bukanlah mahkota, melainkan perjalanan panjang yang harus ditempuh dengan sabar dan rendah hati.****

































